Aliansi Pedagang Kaki Lima UGM
“Bersatu dan Berjuang Demi Hidup”
Awan gelap, mendung yang sungguh hitam, hujan rintik-rintik, sama sekali tidak menyurutkan puluhan pedagang kaki lima UGM untuk berjuang mempertahankan hak hidupnya, berjuang untuk diri mereka sendiri agar supaya dapur tetap mengepul, agar tetap ada pendapatan untuk membayar uang sekolah dan tentunya susu untuk si kecil!!
Hari ini, 15 Desember 2008, di bouleverd UGM, mereka para pedagang kaki lima di sekitar UGM dan saya sendiri, menghimpun diri secara bersama-sama dalam wadah perjuangan “Aliansi Pedagang Kaki Lima UGM”. Kami rakyat kecil yang tertindas, sampai hari ini, 2007 tahun, 11 bulan, dan 15 hari pasca kelahiran Isa, ternyata masih belum bisa untuk hidup aman, tentram, damai, dan sejahtera!! Bagaimana tidak, nasib para PKL UGM memang berada di ujung tanduk. Mata pencaharian utama para PKL UGM yaitu berjualan di sekitar kampus UGM terancam akan direlokasi alias digusur.
Oh, alangkahnya kejamnya dunia, jika memang harus seperti itu...... jika para PKL yang baru saja terkena dampak negatif fenomena alam ‘puting beliung’, sekarang harus digusur oleh para penguasa yang jahat, dalam kasus ini adalah institusi UGM yang diwakili oleh pihak Gama Multi. Terkutuklah mereka, dan semoga Tuhan Yang Maha Perkasa membalas perbuatan mereka...
“Vox Populi Vox Die..... suara rakyat adalah suara Tuhan, berarti melawan rakyat sama halnya dengan melawan Tuhan”
Dengan berdasar dari kalimaat di atas, maka adalah hal yang wajar bagi setiap manusia jika ia memihak PKL UGM. Karena penggusuran terhadap mereka, sudah tentu akan membawa dampak buruk bagi kondisi ekonomi mereka, padahal kita tahu, dunia sedang mengalami krisis, ‘global economic disaster’. Bisa dibayangkan, jika senandainya penggusuran itu benar-benar dilaksanakan, maka akan ada pengangguran baru, menambah jumlah kemiskinan, dan bisa jadi akan memperbanyak jumlah anak putus sekolah...... maka dari itu, penggusuran terhadap PKL UGM harus di tolak, karena itu merupakan kejahatan melawan kemanusiaan, crime against humanity.
Sekarang mari bercerita tentang sebuah kisah nyata, mari bercerita tentang kisah perjuangan para PKL dalam menolak penggusuran terhadap lapangan pekerjaan mereka.
Di pagi hari di bulan Desember, awan mendung tampak bergantung di langit kota Yogyakarta. Hari ini, tanggal 15 Desember 2008 langit nampak murung, ia terlihat seperti sedang bersedih hati, karena penindasan masih terus saja berlangsung di muka bumi yang semakin tua ini.
Meski hujan, mereka para PKL tetap gigih memperjuangkan haknya. PKL UGM melakukan demonstrasi di boulevard UGM untuk menolak penggusuran terhadap mereka. Dengan bersemangat, para PKL UGM itu terus berorasi, menyanyikan lagu-lagu perlawanan, meluncurkan kalimat-kalimat protes terhadap rencana penggusuran terhadap diri mereka.
Secara bergantian, sejumlah PKL menyampaikan orasinya untuk menolak penggusuran. Ada yang berkata... “mau makan apa saya dan keluarga saya jika mata pencaharian kami harus di gusur?” Ya.... benar, benar sekali mau makan apa mereka jika usaha mereka digusur. Seharusnya kalimat itu diteriakkan keras-keras di kuping para penindas yang dzalim.
Di dalam aksi itu, dengan mata kepala sendiri.... saya melihat sebuah peristiwa yang sebenarnya sungguh membuat susah untuk tidak meneteskan air mata. Namun untungnya, air mata tidak sempat tertetes.......walaupun di jauh lubuk hati, itu membuatku merasa bersedih hati yang teramat. Tersenyum, memang selalu senyum, tapi senyum yang penuh penderitaan.
Di sana, saya melihat seorang anak yang masih menggunakan seragam sekolah mencari ibunya yang PKL, kemudian si anak itu menghampiri ibunya dan ikut demonstrasi. Kemudian saya dengar ibu itu berkata, “sini nak, duduk dekat ibu”.... kemudian ibu dan anak itu, berdua berdemonstrasi, berjuang untuk hidup mereka. Ibu dan anak itu tampak gigih, tampak tidak mengenal kata menyerah.... saat itu hampir jam 12 belas siang dan mulai turun hujan... apakah anak kecil itu sudah makan? Mengapa si anak kecil itu tidak pulang dan mengerjakan PR? Mengapa ibu dan anak itu harus berdemonstrasi di boulevard UGM? Bukankah lebih baik jika mereka berdua berteduh dan makan siang? Ternyata kenyataan kejam-lah yang membuat mereka harus berdemonstrasi.
Dan bagaimana jika kenyataan kejam itu terjadi secara langsung kepada saya? Bagaimana seandainya jika masa kecil ku berada dalam kondisi seperti mereka? Bagaimana rasanya jika berdua bersama ibu harus turun ke jalan untuk mempertahankan periuk nasi?
Tentu tidak enak, sudah barang tentu menyakitkan hati.
Oleh karena itu, marilah kita berharap, berjuang, dan berdoa kepada Tuhan, agar penggusuran itu batal dilaksanakan. Masih ada banyak langkah agar UGM tampak indah meski ada PKL, salah satunya adalah dengan renovasi dan penataan PKL tanpa menggusur mereka. Karerna sebenarnya, kita sama-sama manusia. Lebih baik jika saling berbagi, terutama terhadap akses perkonomian.
Tentunya saya juga selalu mengingat pesannnya
“Jiwa mu adalah tanggung jawab mu! Di depan Tuhan, kamu tidak bisa berkata; saya melakukan itu semua karena diperintah orang lain ataupun idealisme dan perbuatan baik tidak cocok ketika saya hidup!”
0 komentar:
Posting Komentar